Powered By Blogger

Minggu, 16 November 2014

Yang membedakan adalah "Level Ketaqwaannya".

Sahabat...
Laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan adalah level ketaqwaannya. Namun dalam teorinya, selalu ada penafsiran yang keliru dan cenderung sesat pikir.

Sebagai contoh artikel yang pernah aku baca berikut "Pengorbanan Istri Yang sering Tidak disadari Suami", di dalamnya berisi 7 poin pengorbanan istri terhadap suami.

Mengapa aku gunakan tanda petik dua (")... sebab menurutku apa yang ditulis di artikel tersebut bukan lah pengorbanan, namun kekeliruan pemahaman. Yang jelas hati kecil ku berontak dan tidak menerima jika perempuan direndahkan dengan pemahaman keliru.

Harus ada yang di koreksi...

Dari bagaimana cara berpikir sebagian orang mengenai posisi perempuan terutama ketika dipandang sebagai seorang istri.

Berikut komentar ku... (posisi sebagai seorang istri dan seorang perempuan).

1. Ketika suami menikah lagi dan istri berusaha menerima (dengan alasan ekonomi, agama atau alasan apapun).

Ia akan duduk sendiri di setiap malam dalam gelap kamar saat suaminya tengah mendekap mesra seorang perempuan lain di ranjang lain. Ia akan mungkin menangis karena terluka, tapi demi anak-anak ia akan berusaha menerimanya dengan sabar.

( Oh please, jangan jadikan seolah istri harus menerima itu semua. Istri berhak menolak. Bahkan... sebelum pernikahan perempuan punya hak untuk meminta calon suaminya untuk tidak menikah lagi selagi dia masih hidup.

Aku tidak mengharamkan poligami, tapi aku tidak suka.

Dan suami terbaik adalah ia yang tidak pernah membiarkan istrinya menangis, apalagi karena suaminya).

2. Sebagai istri siap mengorbankan impian-impiannya demi mengurus suami dan anak-anak.

(Jika yang dimaksud "mengurus suami" itu sebagai "babu, melakukan pekerjaan pembantu" please jangan dong... Tolong bedakan pekerjaan Ibu rumah tangga dengan pekerja Pembantu rumah tangga.

Bagiku, setiap orang punya hak untuk bermimpi dan mengejar impiannya masing-masing.

Pasangan yang baik adalah mereka yang bahu-membahu membantu suami atau istrinya mencapai impiannya. Sehingga berjaya bersama atau hancur bersama).

3. Ketika suami mencela masakan istri... Istri akan bersusah payah belajar masak dari siapapun untuk bisa menghidangkan makanan dengan rasa terbaik pada suami dan anak-anak.

(Kalau menggunakan ukuran agama... pertama, dilarang keras mencela makanan... kedua, wajib hukumnya berakhlak baik kepada istri dalam hal apapun. 

Ketahuilah, sepanjang hidup Rasulullah, beliau tidak pernah sekalipun mencela masakan yang dibuat istrinya).

4. Istri bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jam kerjanya tidak terbatas. Ia bangun ketika siapapun di rumah belum bangun...

Ia mulai bekerja, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, lalu mengurus suami sebelum pergi kerja, mengurus anak-anak berangkat sekolah, ketika pakaian kering di jemuran diangkat dan menyetrika dengan rapi.

(Please... istri bukanlah pembantu).

5. Kemudian setelah begitu capek mengurus rumah tangga, malam giliran memenuhi ini itu suaminya. Mulianya seorang istri adalah: tukang masak, tukang cuci, cleaning service, babu dan penghibur suami digabung jadi satu.

( Dimana letak kemuliaanya?? Bukankah ini bentuk perendahan sejadi-jadinya. Istri jadi seperti babu dan penghibur itu disebut mulia?!

Aku benar-benar berlindung dari cara berpikir seperti ini. Ini kesesatan berpikir yang fatal.)

6. Ketika suaminya menginginkan punya anak 4,5,6 atau 9 orang, sebagai istri harus siap menderita mengandung anak dan bertarung nyawa melahirkannya.

(Perlu dicatat, istri pun berhak untuk mengendalikan kelahiran. Suami pun harus tahu diri tentang hal ini).

7. Meski laki-laki tidak paham benar, tapi Allah Maha Mengerti... karena itulah Ia memberi reward pada pengorbanan perempuan. Bagi yang meninggal karena melahirkan anak, Tuhan langsung memberinya surga.

(Melahirkan adalah sebentuk jihad bagi perempuan).


------------------

Aku tidak habis pikir... mengapa pekerjaan dapur-sumur-kasur disematkan sebagai pekerjaan wajib istri. Sehingga mengepel, menyuci, menyetrika, dan sebagainya dianggap tugas perempuan.

Jika ada perempuan yang menjalani itu semua dengan penuh keikhlasan tanpa tekanan, tradisi budaya, atau pemahaman agama, bagi aku itu bagus sekali. Mungkin banyak alasan yang bisa diberikan.

Namun, jika itu semua dilakukan dengan keterpaksaan budaya... tanpa diketahui hakekatnya, maka itulah yang keliru. Lebih keliru lagi... jika kesalahan berpikir itu terus dikampanyekan seolah istri-istri akan mulia dengan melakukan pekerjaan pembantu atau seperti poin-poin diatas.

Keikhlasan karena kesadaran jauh lebih baik dari keikhlasan karena keterpaksaan.

Itu yang aku pahami secara sederhana.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar