Powered By Blogger

Sabtu, 24 Oktober 2015

Perhiasan Terindah.

Sahabat...
Mari kita simak tulisan indah ini sebagai pengingat para Lelaki dan sebagai pembelajaran untuk kita para calon istri dan istri :)
Seringkali saya cukup jengah membaca beberapa artikel yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan saya merasa hal itu sangat keterlaluan. Laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan adalah level ketaqwaannya. 
Namun, dalam teorinya, selalu ada penafsiran yang keliru dan cendrung fallacy (sesat pikir). Bisa jadi hal ini berkembang karena pengaruh tradisi lokal yang cukup kuat. Misalnya, kebudayaan di Asia belum tentu sama dengan di Eropa. Di Asia, tradisi bisa jadi jauh lebih kuat ketimbang penerapan agama. Di Indonesia pun satu daerah belum tentu sama dengan daerah lain. Terkadang pengaruh ini tercampur dengan penerapan agama yang parsial.
Sebagai contoh di sebuah artikel dengan judul: "Pengorbanan Istri Yang Sering Tidak Disadari Suami"Di dalamnya berisi tujuh poin “pengorbanan” istri terhadap suami. Mengapa saya gunakan tanda petik dua ("), sebab menurut saya apa yang ditulis bukanlah pengorbanan, namun kekeliruan pemahaman. saya yakin ini kasuistik (hanya dialami oleh penulis atau terlokasi di sekitar penulis artikel tersebut). 
Yang jelas, hati kecil saya berontak dan tidak menerima jika perempuan direndahkan dengan pemahaman keliru. Harus ada yang dikoreksi dari bagaimana cara berpikir sebagian orang mengenai posisi perempuan—terutama ketika dipandang sebagai seorang istri. Berikut komentar saya:
1. Ketika suami menikah lagi dan perempuan berusaha menerima (karena alasan ekonomi atau agama atau alasan apapun), ia akan duduk sendiri di setiap malam dalam gelap kamar saat suaminya tengah mendekap mesra seorang perempuan lain di ranjang lain. Ia akan (mungkin) menangis karena terluka, tapi demi anak-anak ia akan berusaha menerimanya dengan sabar.” 
Komentar saya: "Jangan jadikan seolah perempuan harus menerima itu semua. Perempuan berhak menolak. Bahkan, sebelum pernikahan perempuan punya hak untuk meminta calon suaminya untuk tidak melakukan hal itu. Saya pribadi tidak mengharamkan poligami. Tapi saya tidak suka. Sama halnya seperti petai. Saya tidak suka petai, tapi bukan berarti saya bisa mengharamkan petai. Saya tidak makan petai. Menerima laki-laki yang akan melakukan poligami, sedangkan si perempuan tidak suka, lalu “terpaksa” menerimanya, bagi saya, adalah kebodohan. Pastikan calon suami tidak akan pernah melakukan itu. Bahkan, terpikirkan pun tidak. Dan, suami terbaik adalah ia yang tidak pernah membiarkan istrinya menangis, apalagi karena suaminya".
2. “Sebagai istri ia siap mengorbankan impian-impianny­a demi mengurus suami (yang kadang bersifat kekanak-kanakan­ dan minta diurus) dan anak-anak yang bandel.” 
Komentar saya: "Jika yang dimaksud “mengurus suami” itu sebagai “melakukan pekerjaan pembantu” (tolong bedakan pekerjaan rumah tangga sebagai istri dengan pekerjaan pembantu rumah tangga). Bagi saya, setiap orang punya hak untuk bermimpi dan mengejar impiannya masing-masing. Pasangan yang baik adalah mereka yang bahu-membahu membantu suami atau istrinya mencapai impiannya. Bukankah seharusnya begitu? Bukankah letak keindahannya disitu?  Suami mengurangi beban dan ikut merasakan kepayahan istri dalam mengejar cita-citanya. Begitu pula sang istri kepada suaminya. Sehingga mereka berjaya bersama atau hancur bersama".
3. “Ketika suami mencela masakannya, ia akan bersusah payah belajar masak dari siapapun untuk bisa menghidangkan makanan dengan rasa terbaik pada suami dan anak-anaknya.”
Komentar saya: " Kalau menggunakan ukuran agama. Pertama, dilarang keras mencela makanan. Kedua, wajib hukumnya berakhlak baik kepada istri (dalam hal apapun). Mencela makanan yang dibuat istri sudah menyalahi kedua syarat akhlak tersebut. Itu baru dua, masih banyak yang lainnya. Jadi, sebelum menyebutkan “kesabaran atau pengorbanan” istri terhadap celaan suaminya, suaminya telah salah duluan. Dan, suami macam apa yang mencela masakan istrinya?
4. “Ia bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jam kerjanya tak berbatas. Ia bangun ketika siapapun di rumah belum bangun, mulai bekerja, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, lalu mengurus suami sebelum pergi kerja, mengurus anak-anak berangkat sekolah, ketika pakaian kering di jemuran ia akan mengangkatnya dan menyetrika dengan rapi.”
Komentar saya: "Oh stop, please! Istri bukanlah pembantu! Baca lagi Istri bukan pembantu"
5. “Kemudian setelah begitu capek mengurus rumah tangga, malam giliran memenuhi ini itu suaminya. Mulianya seorang istri adalah: tukang masak, tukang cuci, cleaning service, babu dan penghibur suaminya digabung jadi satu.”
Komentar saya: "Na’udzubillah! Ini kesesatan berpikir yang sangat nyata. Di manakah letak kemuliaannya? Bukankah ini bentuk perendahan sejadi-jadinya? Istri jadi seperti babu dan penghibur itu disebut mulia? Astaghfirullah. Saya benar-benar berlindung dari cara pikir seperti ini. Ini kesesatan berpikir yang fatal."
6. “Ketika suaminya menginginkan punya anak 4, 5, 6 atau 9 orang, ia sebagai istri harus siap menderita mengandung anak dan bertarung nyawa melahirkannya.” 
Komentar saya: "Di poin ini letak semulia-mulianya perempuan. Laki-laki tidak akan pernah bisa mendapatkan kehormatan ini. Mengandung dan melahirkan adalah proses paling menakjubkan di dunia. Tetapi, perlu dicatat, istri pun berhak untuk mengendalikan kelahiran. Suami pun harus tahu diri tentang hal ini.
Inilah mengapa kewajiban mencari nafkah lahir dan bathin adalah sepenuhnya kewajiban suami. Bisa jadi sebagai pengganti—meski tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan mengandung dan melahirkan—kesakitan sang istri. Dan, perlu diketahui pula bahwa dalam mencari nafkah suami pun harus banting tulang".
7. “Meski laki-laki tak paham benar, tapi Allah Maha Mengerti, karena itulah ia memberi reward pada pengorbanan perempuan. Bagi yang meninggal karena melahirkan anak, Tuhan langsung memberinya surga.”
Komentar saya: "Laki-laki memang tidak akan pernah paham bagaimana rasanya mengandung dan melahirkan seperti poin sebelumnya. Tetapi bukan berarti laki-laki tidak mendapatkan kewajiban pengorbanan yang sama. Dan, ini tidaklah sama dengan menjadikan istri sebagai subordinasi dari laki-laki. Melahirkan adalah sebentuk jihad bagi perempuan".
Tak Habis Pikir
Saya tidak habis pikir mengapa pekerjaan dapur-sumur-kasur itu disematkan sebagai pekerjaan wajib istri. Sehingga mengepel, menyuci, menyetrika, dsb dianggap domain perempuan. Saya meyakini ini adalah produk budaya lokal yang terasimilasi dengan penerapan agama. Ditambah banyak penafsiran terhadap hak dan kewajiban suami-istri yang dipahami parsial, jadilah tradisi subordinasi perempuan terus lestari. Perpaduan antara dominasi laki-laki sebagai budaya lokal dan penafsiran terhadap teks yang terlalu maskulin.
Jika ada perempuan yang menjalani itu semua dengan penuh keikhlasan tanpa tekanan, tradisi budaya, atau pemahaman parsial agama, bagi saya itu bagus sekali. Mungkin banyak alasan yang bisa diberikan. Namun, jika itu semua dilakukan dengan keterpaksaan budaya—tanpa diketahui hakikatnya, maka itulah yang keliru. Lebih keliru jika kesalahan berpikir itu terus dikampanyekan seolah istri-istri akan mulia dengan melakukan pekerjaan pembantu atau seperti poin-poin di atas. Keikhlasan karena kesadaran jauh lebih baik dari keikhlasan karena keterpaksaan.
Jika “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah,” maka lelaki shalih tentu akan menjaga perhiasan itu dengan jiwa raganya, merawatnya dengan teliti dan hati-hati, dan menyimpannya di tempat terbaik. Tidak masuk di akal jika perhiasan itu ia gunakan untuk memukul paku, mengganjal pintu, gantungan baju, atau digunakan untuk pekerjaan kasar, kotor, lagi menggerus keindahan perhiasan tersebut. Bukankah begitu?
Itu yang saya pahami secara sederhana dari perhiasan—dengan makna sesungguhnya. Bagaimana jika “perhiasan” yang dimaksud adalah manusia? Tentu akan jauh istimewa perlakuannya, bukan?”
 “Perempuan adalah satu satunya manusia yang rela perutnya dirobek demi kehidupan anak anak suaminya” 
Subhanallah, jaga diri kita ya untuk jadi perhiasan terindah, I love you …

Kamis, 22 Oktober 2015

Si Abang

Sahabat,
Bagai disambar petir ketika dari mulutnya sendiri aku mendengar kabar bahwa si abang (demikian aku memanggil sahabatku ini) telah bercerai dari sang istri yang mengusirnya keluar rumah yang mereka beli dengan tabungan keringat dan cinta.

urrrgggghh, perih mendengarnya...
Tragis...itu yang melayang-layang di jiwa ku ketika aku mendengar alasan perceraian mereka adalah si abang mendapat KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang dilakukan oleh sang istri.

Istrinya si abang suka memukul jika marah, suka berteriak dan melempar segala yang ada ketika marah, dan bahkan tega membentak buah cinta mereka dan mampu berteriak segala jenis hewan yang ada di kebun binatang ketika amarahnya memuncak, dan yang lebih tragis adalah sang istri suka mengusir si abang dan buah cinta mereka ketika emosinya sendiri tidak terbendung.
Ya Allah, seorang perempuan yang kelihatan sangat lembut di mata ku dan cantik, ternyata didalamnya tidak seindah tampak luarnya.

Dengan terisak-isak si abang menceritakan kepada ku apa yang terjadi dan yang paling memilukan ternyata bukan perceraian itu tapi rasa sesal karena telah memilih perempuan yang keras yang menurut si abang waktu itu bisa ia ubah dan berubah seiring dengan waktu, ternyata TIDAK!!!
Dan penyesalan kedua bukan pengusiran istrinya tapi adalah si abang merasa telah menghadirkan perceraian bagi buah hati mereka (merasa telah salah memilihkan ibu, yang bukan saja tidak lembut tapi bisa mencubit dan membentak atas kenakalan kecilnya).
Dan si abang tidak pernah melawan dengan perkatan yang kasar sekalipun, apalagi melawan fisiknya yang didera lemparan-lemparan, hal itu karena si abang menjaga kondisi psikologis buah hati mereka.
aahh.. bisa aku rasakan kasih sayang yang teramat dalam.

Sungguh manusia akan memiliki ujian masing-masing, bahagia menurut penglihatan ku dengan ilmu ku yang sempit tapi Allah dengan ilmunya yang luas sedang memperlihatkan ujian ini.

Pilu banget rasa dihati ku melihat si abang ini menangis, dalam banget luka yang bisa aku rasakan ketika melihatnya menangis. Tangisnya begitu mengetarkan hati ku.
Aku membayangkan kalau selama ini KDRT hanya diteriakkan ketika terjadi kepada perempuan tapi dibungkam ketika terjadi pada laki-laki.

Mungkin sedikit sekali perempuan yang mampu berkata kasar, berlaku kasar, dan mencakar-cakar, tapi ternyata ada...

(jadi teringat cerita bahwa tidak semua lelaki itu perkasa ketika berhadapan dengan perempuan).

Hikmah yang bisa aku ambil dari cerita si abang adalah bahwa Tidak semua perempuan itu lembut seperti ibu.


Rabu, 21 Oktober 2015

Berdakwah dengan kepribadian.

Sahabat,
Berdakwah dengan kepribadian... 
Mungkin ini kalimat yang tepat untuk menggambarkan menjadi dermawan bukan dari harta... tapi dari tenaga, umur, ilmu yang berkah. Jika menasehati tidak berteriak namun dengan kelembutan.

Da'wah dengan kepribadian berarti menunjukkan pribadi baik, memberi apa yang dipunyai, meminjamkan apa yang dimiliki, mengabarkan apa yang diketahui, dan memberi manfaat apa yang ada dalam diri.

Andai semua orang mewakafkan dirinya untuk Allah mungkin tidak ada kemaksiatan dibumi Allah ini yah. Andai semua pribadi menjadikan diamnya zikir, bicaranya dakwah mungkin akan damai negeri ini. Andai mengikuti hawa nafsu bukan tujuan mengisi waktu mungkin akan banyak orang terselamatkan dari berbuat dosa. "ekstrim"

Sungguh aku tidak tahu bagaimana cara menutup tulisan ini, selain berdoa semoga aku ini mampu menjadi bintang-bintang di langit gelap, mampu menjadi obor di lorong pekat.

Satu hal yang membuat aku percaya "kita datang sendiri ke bumi Allah, pulangpun sendiri, lalu kenapa harus takut sendiri, biar semua pergi yang penting Allah tidak dan semua manusia tempatnya salah serta tidak semua hati itu logam mulia, banyak yang palsu."

Terima kasih sebelumnya ya Allah.

Senin, 05 Oktober 2015

Senyum

Sahabat,

Keajaiban senyum atau lebih tepatnya bahasa senyum mampu meluluh lantakan hati setiap yang melihatnya... bener nggak?!

Aku jadi ingat ketika seorang memberhentikan trolly ku karena sedikit menyenggol dirinya, kemudian tanpa sengaja aku tersenyum sekedar mentertawakan kebodohanku melakukan kesalahan itu, alhasil orang itu batal melotot dan hanya bilang "lain kali hati-hati ya mbak"... ah padahal senyum itu tidak sengaja lho, tetap mampu menguraikan amarah.

Belajar dari peristiwa ini, aku mulai paham bahwa senyum itu ibadah sungguh benar adanya. Senyum adalah obat duka hati, sesuatu yang sulit menjadi mudah karenanya.

Menurut ku senyum itu bahasa jiwa, meluruhkan resah, ketika aku resah maka senyum orang terdekat ku akan membantu melewati masa resah artinya ibadah bagi yang memberikan senyum karena membantu meringankan beban ku. Bahkan ketika aku tidak memiliki apa-apa yang bisa aku sedekahkan, senyum adalah salah satu cara mendapatkan pahala :)

Jadi mulai hari ini jadikan senyum sebagai ladang ibadah, meluluh lantakan bumi yang kian hari kian panas. Insya Allah dari senyum tulus yang kita berikan di akherat nanti timbangan amal kita menjadi berat dan bahkan mungkin mampu menghapus timbangan dosa-dosa kita.

Subhanallah, sudah hati bahagia dapat pahala pula, terbayang nggak ketika kita dihisab di akherat nanti kita akan terkaget-kaget karena pahala kita banyak sekali, ternyata itu semua dari senyum yang mungkin tanpa sengaja kita berikan.

Senyum adalah salah satu cara mendapatkan pahala :)

Jumat, 02 Oktober 2015

Aku Kembali...


Sahabat,

Setiap kita lahir bersih, harusnya kita juga pulang bersih ya... maksud ku setelah dibersihkan dari segala dosa, seharusnya kita tahu bahwa kita sebetulnya tidak memiliki apa-apa, semua milik Allah, dari-Nya.

Hari ini aku bahagia luar biasa, subhanallah aku mendapat email dari seorang sahabat: "Aku kembali shalat setelah sekian lama aku menjauh dari Allah, setelah sekian lama jiwaku kering dari nama Allah, setelah sekian waktu berlalu aku tidak lagi merasakan sejuknya air mengalir menyapu wajah, meruntuhkan dosa, insya Allah. Setelah sekian lama kerontang hatiku, setelah hampir terlupa bahwa apa-apa yang aku miliki karena Allah, setelah sekian kisah aku jalani dan ditengah keramaian masih terasa sepi, aku kembali... kembali wudhu, kembali ruku, kembali sujud yang meluruhkan seluruh beban dipundak ku yang kian berat, sujud yang menunjukkan hati, meluruhkan sombong. Allah ada dimana-manakan, Dia mengawasi apa yang aku lakukan, apa yang aku ucapkan, apa yang aku ambil dan apa yang aku beri..." (isi email sahabatku).

Ahh... seandainya setiap kita berpikir seperti itu mungkin tempat-tempat maksiat itu sepi, mungkin narkoba tidak beredar, mungkin Menkoinfo tidak perlu repot-repot teriak untuk menutup situs porno, mungkin tempat ibadah akan ramai, mungkin anak-anak jalan bisa bersekolah karena tidak ada yang mengemplang jatah sekolah mereka.

Dan rasanya memang sudah saatnya kita menyadari bahwa Allah itu ada, dekat dengan urat leher kita, masih belum adakah rasa takut dihati kita untuk menjauhi dosa-dosa?

Dan cukuplah hidup yang singkat ini kita isi dengan hal-hal yang diridhoi Allah saja... bukankah kita semua tahu bahwa nafas kita pasti akan berhenti?! lalu kenapa masih saja asik berselingkuh, masih saja korupsi, masih saja bergunjing, masih saja sombong, masih saja cinta dunia hingga lupa mati, masih tidak malu sama Allah yang melihat kita bermaksiat padahal segalanya sudah diberi...Cape deh.

Aku hanya tersenyum membiarkan hatiku berbicara bak ahli dakwah, dan aku mulai memutar otak karena apa yang hatiku katakan benar... hehehe manusia aneh.

Kamis, 24 September 2015

Hidup.

Sahabat,
Hari ini aku telah berdialog dengan hati nurani ku tentang hidup...

Dalam kesendirian hari ini aku bertanya pada diri sendiri "pernah nggak merasa bahwa hidup ini seperti menonton tayangan televisi, yang setiap saat disuguhi berbagai cerita??

Coba perhatikan dech..
Ada sahabat ku yang sudah meninggalkan aku untuk selama-lamanya, ada sahabat ku ingin bunuh diri karena bosan merasa sudah mencapai level mapan dan memiliki segala-segalanya sementara disana ada sahabat ku yang sedang berjuang mencari nafkah untuk keluarganya, ada sahabat ku yang sedang sakit, ada sahabat ku yang jatuh cinta lagi (selingkuh) dengan mantan pacarnya dengan alasan bersilaturahmi, dll... ah inilah dunia, sebuah TV dihadapan ku.

Semoga aku mampu belajar dari hidup mereka untuk mengisi dan menyempurnakan hidup ku sendiri. Aamin YRA.

Jadi hidup itu apa donk ?!
Apakah yang dinamakan hidup itu ketika aku sibuk dengan apa yang ada ditangan saja, sibuk dengan diri sendiri... nggak kan ?!!

Ada yang bilang hidup ini adalah cinta karena kita terlahir dari cinta. Ada juga yang bilang hidup ini adalah menghargai orang lain atau hidup adalah mengejar mimpi... eemmm.

"Hidup ini ada yang mengatur (teriak hati nurani ku..) Allah yang mengatur segalanya, manusia hanya perlu jalankan perintah Nya dan jauhi larangan Nya... itu loh hidup sebenarnya, simpel kan!!. Ketika kita mampu menggapai cinta Allah, maka kebutuhan sekunder lain seperti rezeki, cinta, nafas, kesehatan, Allah yang mengatur".

Rasanya dialoq ini harus berhenti sampai disini karena cahaya matahari sudah semakin tinggi... menunjukan bahwa hidup harus berlanjut tanpa perlu bertanya hidup ini apa?

Hari ini masih dititipi nafas artinya masih ada mimpi yang harus diwujudkan, artinya masih ada orang-orang terluka yang bisa kita sembuhkan dengan senyum kita, masih harus menjemput rezeki dan begitu seterusnya.

Selamat beraktifitas sahabat.


Senin, 31 Agustus 2015

Pohon

Sahabat,
Dari kaca lebar dihadapanku aku melihat angin begitu kencang menggoyang-goyangkan semua pohon. Allah sedang menunjukkan betapa Maha Besar Kuasa Nya dari angin yang Ia tiupkan ke pohon itu, dan aku merasa amat kecil.

Jika Allah berkehendak maka mudahlah pohon-pohon tinggi dengan dahan yang kekar dan daun yang lebar menjuntai itu untuk tumbang dan menimpa bangunan yang di dalamnya ada aku... Allah Akbar.

Dari peristiwa ini aku mendapatkan pelajaran bahwa semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya yang berarti semakin ia menjauh dari tanah dan tumbuh tinggi maka semakin kencang angin yang menerpa. Semakin tinggi keberadaannya akan semain terlihat dan dahannya akan semakin bermanfaat. Semakin tinggi semakin sering terkena matahari dan sehat.

Begitu juga dengan kita (manusia), semakin naik derajatnya (level) kita semakin banyak ujiannya.... setuju kan...?!!.

Semakin aku sabar maka derajat ku di mata manusia akan naik. Semakin aku tawakal maka semakin banyak sahabat-sahabat yang bersandar kepada ku karena mereka tahu bahwa aku bersandar kepada Allah... artinya untuk menjadi berarti harus diuji dulu.

Setiap tingkatan kehidupan itu pasti ada ujiannya... Untuk menjadi sabar aku harus merasakan marah. Untuk menjadi ikhlas aku harus rela kehilangan apa-apa yang aku cintai. Untuk mencapai level tawakal aku harus dihempaskan oleh keadan dimana semua doa ditunda untuk dikabulkan.

Dan jangan katakan diri kita beriman sebelum teruji... eeeaaaa....

Semua ujian itu akan menjadi akar jiwa. Ujian adalah bagian dari cinta Allah... yang penting setiap ujian itu apakah akan membuat kita semakin dekat dengan Allah dan akar kita semakin kuat ataukah membuat kita jauh dari Allah.

Dan jadikan pohon sebagai Iman dan angin sebagai Ujian.